Friday, July 25, 2014

Anak Ajaib, Sekolah Ajaib

Charles Williams, seorang bidang pakar di bidang anak, mengatakan bahwa anak  yang berusia 2 tahun adalah majikan Anda, pada usia 10 tahun adalah budak Anda,  pada usia 15 tahun adalah kembaran Anda, dan setelah itu akan menjadi kawan Anda atau  musuh Anda, tergantung bagaimana Anda membesarkan dan mendidiknya. Pernyataan ini memperlihatkan betapa pentingnya peranan orang tua dalam tumbuh kembang anak mulai sejak  dini. Jangan sampai terjadi istilah nasi sudah menjadi bubur ataupun istilah penyelasan selalu datang terlambat.

Kali ini, hampir saja menjadi sebuah penyesalan. Untungnya, sebuah penyesalan yang belum terlambat namun menjadi sebuah pengalaman dan pelajaran berharga yang dialami seorang ibu dalam mendampingi anak di usia emas anak laki-lakinya.

Alyadh namanya, dari usia 7 bulan sudah mengikuti sekolah "baby school" di salah satu sekolah ternama di kota Medan. Suatu saat sampai di usianya 3 tahun tiba-tiba saja dia tak mau sekolah lagi. Setiap kali ibu dan ayahnya mengajaknya ke sekolah dia selalu tak mau dengan berbagai alasan, sampai-sampai sakit juga menjadi alasan dan dia benar-benar sampai jatuh sakit.

Awalnya kedua orang tuanya bingung, habis akal, tak mengerti apa dibalik ketidakinginian anaknya untuk kembali ke sekolah. Sampai suatu saat, setelah ia benar-benar tidak sekolah lagi, setelah beberapa lama dia mengakui bahwa dia takut sekolah,  dia sering dipaksa, diancam, dimarahi sampai dikurung di ruang perpustakaan sekolah. Dan dia pun bercerita tidak ingin sekolah lagi.

Akhirnya melalui cerita dari teman-temannya, ibu Alyadh pun mengenal Little 1  Academy. Hari pertama Alyadh masuk sekolah, menjadi murid baru responnya dia terkejut dengan sekolah barunya, karena lekat diingatannya sekolah adalah belajar bukan bermain. Apalagi denganku, dia merasa trauma karena nama dan perawakanku katanya mirip dengan guru yang telah menyakiti si "jenius" ini. Minggu-minggu awal sekolah dia selalu melihatku dengan wajah sinisnya, alisnya yang tebal dan likukan wajahnya begitu menghantuiku. Dia menyalamku, mengikuti instruksiku selalu dengan ala kadarnya, dengan ekspresi  wajahnya yang sangat khas bagiku. Namun tentu saja aku tak ingin menyerah, aku tak pernah bosan menyapanya, mengajaknya bermain, bercerita, menari dan bernyanyi. Mencoba terus menerus menarik perhatian si murib baru ini melalui proses bermain dan bereksplorasi di kelas.

Hari-hari pun berlalu, kira-kira sebulan kemudian. Ada sebuah perubahan terjadi. Setiap pagi dia mulai menyambutku dengan  sebuah senyuman tulus, menari dan bernyanyi dengan hati yang ceria, mengikuti aktivitas kelas dengan semangat. Apalagi kalau sudah mengikuti yang namanya senam chaki. Suatu kali ketika saya mengganti senam chaki dengan senam yang lain, dia pun bertanya padaku kenapa hari ini tidak ada senam chaki. Awalnhya saya kira dia akan marah dengan pejelasanku. Namun, pemikiranku meleset, ternyata dia senang dengan dance yang baru. Ternyata dia punya bakat dance pikirku dalam hati. Dan ketika saya menceritakan  pembicaraan kami tadi dengan ibunya ternyata jawaban ibunya lebih diluar dugaanku lagi. "Saya tidak  menyangka kalau anak saya ini punya bakat dance ataupun seni, karena pada saat ada lomba dance yang dilatih gurunya di sekolah sebelumnya dia tidak mau bergerak sama sekali", jawabnya. Sebuah keajaiban yang lahir dari sebuah ketidakpaksaan, sebuah penerimaan, sebuah kebebasan, sebuah cinta. Itulah yang menjadi kesimpulan pembicaraan kami dihari itu.

Tak terasa, waktu terus bergulir,  saya dan anak “ajaib” ini sudah sangat akrab, terlihat dari dia yang selalu bercerita tentang hal-hal baru yang dialaminya. Tak pernah dia segan bercerita dan mengadu denganku, bahkan ketika ada hal yang dia tidak suka denganku dia akan sampaikan dengan caranya yang  begitu tulus.

Sampai suatu saat ada lomba yang kami adakan untuk memeriahkan imlek ataupun tahun baru Cina. Kami mengadakan lomba fashion show untuk anak-anak Little 1 Academy Medan. Dan lagi-lagi benar-benar diluar dugaan Fayyadh mendapat juara 1 dari hampir 60 anak. Ternyata dia anak yang percaya diri, memiliki daya ingat yang tinggi bagaimana cara berjalan di catwalk yang saya ajarkan sehari sebelum hari-H. Dan satu lagi dia punya senyum yang tulus, penuh kebebasan, lepas dari ketakutan yang pernah membelunggunya tak tahu berapa lama.

Kini, di sekolah ini, Alyadh menjadi salah satu anak ajaib dari sekolah ajaib. Alyadh dan teman-temannya sudah bisa bercerita bersambung di depan kelas menirukan gaya berceritaku ataupun orang tua yang sudah pernah bergiliran bercerita di depan kelas. Sebuah sekolah ajaib, dengan penerimaan akan setiap anak unik dan berbeda, menggali potensi anak dengan cara yang mereka sukai, bermain yang memang adalah dunianya. Tanpa adanya paksaan, ancaman, ketakutan. Tetapi memberikan contoh, penerimaan, kepercayaan diri, dorongan dan sebuah cinta yang tak pernah pudar. Sekolah ajaib ini adalah sekolah luar biasa, diluar kebiasaan pada umumnya, sekolah yang bukan dipemikiran Alyadh pada awalnya,tapi sekolah yang menciptakan pemikiran baru bagi Alyadh, sebuah harapan baru. Sekolah ajaib  yang kini melahirkan anak-anak ajaib.

"Anak-anak adalah pesan hidup yang kita kirimkan untuk waktu yang kita tidak akan melihat." (John W. Whitehead)

0 comments:

Post a Comment